Saya Lega Saya Bipolar

Diagnosis dari psikiater akhirnya resmi. Saya memiliki kondisi kejiwaan yang disebut bipolar disorder. Jujur saja, saya lega.

Terjawab sudah berbagai pertanyaan yang selama puluhan tahun mendera. Ketika gegoleran di kasur alih-alih menyelesaikan tugas-tugas, saya kira saya pemalas. Ketika panik memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi, saya kira saya penakut. Ternyata bukan. Saya cuma bipolar.

Apa sih bipolar disorder itu?

Menurut Mayo Clinic, bipolar disorder adalah kondisi kejiwaan yang mengakibatkan mood swing, ditandai dengan munculnya–secara bergantian–episode manik/hipomanik dan episode depresif. Pas manik, itulah saatnya saya paling kreatif, bersemangat, seakan siap menguasai lima samudera. Termasuk sekarang, ketika saya menulis artikel ini. Pas depresif, boro-boro buka wp-admin, mau makan dan mandi saja kudu dipaksa suami.

Kok bisa bipolar disorder?

Hingga hari ini, bipolar disorder belum diketahui (secara konklusif definitif) penyebab pastinya. Bisa saja karena genetika. Bisa juga terpicu trauma masa lalu. Yang pasti, di dalam otak saya ada “kabel-kabel” yang berbeda dari kebanyakan orang. Setiap gelombang emosi saya rasakan lebih intens ketimbang yang dialami kebanyakan orang.

Naik-turunnya mood normal vs bipolar. /Image by Dian Ara

Karena itu, prioritasnya bagi saya justru bukan kenapa, melainkan gimana agar saya bisa menjalani hari-hari dengan baik. Minimal bisa rutin makan, olahraga, dan tidur cukup.

Sebelumnya, saya kuat tidur hanya selama 5 jam atau kurang. Kadang, saya bisa nggak tidur babar blas sampai 2 hari. Tiap kali bangun pada ujung hari ketiga, saya mbatin, “Yaaah, kok nggak matik sih? Ternyata masih dikasih nyawa. Okefain.” Pemikiran suicidal ini biasanya mengakhiri episode manik, dan saya memasuki episode depresif. Hai, bantal. Hai, guling. You’re my best buddies for the next couple of weeks, uwuwuwuwuwuwuw…

Emang bipolar disorder bisa sembuh?

Kata psikiater, saya kudu terus minum obat. Seumur hidup. Di samping rutinitas dan pola hidup yang lebih sehat, obat penting untuk regulasi mood. Jadi, boleh dibilang, bipolar disorder bukan sesuatu yang bisa diusir dari dalam tubuh layaknya virus atau bakteri. Kan otaknya kadung berbeda.

Bagi saya, ini nggak berbeda dengan diabetes, asam urat, dan kondisi metabolisme kronik lainnya sih. Ada aturan, baik diet maupun konsumsi obat, yang perlu dipatuhi seumur hidup kalau nggak mau dilarikan ke UGD.

Lantas, kenapa bipolar disorder (maupun kondisi kejiwaan lainnya) dianggap lebih buruk dari diabetes?

Stigma sosial = tembelek kingkong

Ini mengingatkan akan petualangan saya dan suami seminggu silam. Difasilitasi oleh Sayangi Tunas Cilik (STC), yayasan mitra Save the Children di Indonesia, kami–bareng beberapa teman blogger dan pebisnis kreatif–bertatap muka dengan ibu-ibu hebat dari sebuah desa di Kab. Bandung. Mereka memiliki anak-anak dengan beragam disabilitas. Dan, siang itu, kami mendengar curhat mereka. Yang bikin miris dan pengen nangis.

Seorang ibu mengaku, anaknya mengidap microsephaly. Alias otak yang nggak berkembang sewajarnya akibat wadah otak (cranium) nggak berkembang. Alhasil, si anak nggak bisa jalan, ngomong, main layaknya anak-anak normal. Tiap kali dia dan ibunya ke rumah sakit, naik angkot, adaaaaa saja orang yang menatapnya dengan ekspresi aneh.

Mendengar kisah ibu ini, ibu-ibu lainnya sontak mengangguk. Seakan menyuarakan harapan di benak mereka. Bahwa masyarakat perlu sesegera mungkin menghapus stigma mengenai disabilitas.

Nabila, yang mengalami mental retardation, sedang dipijat terapis profesional, Bu Irin. /Image by Dian Ara

Yang bikin miris, di desa tersebut masih ada orang tua yang yakin bahwa disabilitas adalah aib keluarga, yang perlu ditutupi rapat-rapat. Bahkan, ketika tim STC yang menggelar program Inclusive Community Development and School for All (IDEAL)–yang hadir di desa itu untuk memberikan layanan Rehabilitasi Berbasis Masyarakat (RBM)–berusaha agar anaknya dibantu oleh terapis, mereka menolak mentah-mentah. Malu, katanya. Dengan kata lain, tembelek kingkong.

Berbeda bukan berdosa

Nggak bosan-bosannya saya menulis tentang suami saya yang tergolong Aspie di berbagai media sosial, termasuk Path dan Quora. Saya ingin menunjukkan pada dunia bahwa, “Ndapapa lho kalau berada di titik menjelang ujung spektrum autisme. Nih, lihat, dia bisa membahagiakan saya.”

Suami juga pernah menjadi korban stigma masyarakat. Dulu, keluarga kurang bisa menerima jati dirinya. Berharap dia bisa “sembuh” dan berperilaku layaknya kebanyakan orang. Ibarat memaksa orang kidal untuk menulis dengan tangan kanan, good luck saja deh. Dasar muggles!

Psikiater saya pun terheran-heran, saat beliau menjatuhkan vonisnya, eh saya cengengesan. “Maaf banget ya, Mbak Dian. Obat ini, nggak bisa enggak, harus diminum.” “Lho, nggak pa-pa, Dok. Saya malah lega. Ternyata ada solusinya.”

Foto kover oleh Nick Fewings (Unsplash), free license.

17 pemikiran pada “Saya Lega Saya Bipolar

  1. Adik saya juga harus minum obat Depakote ER 1000mg, dan obat lainnya, setiap hari, seumur hidupnya. Meski begitu, dia seperti lagu SheilaOn7 yg bisa buatku tersenyum. 🙂
    You’re not alone.
    All the best Mbak Dian

    Suka

Tinggalkan komentar