Saya Dian Ara, ADHD, dan Butuh Bantuan

Saya tahu saya beda dari kebanyakan orang. Dan, perbedaan itu bikin saya menderita tiap hari. Dan, karena itu, saya cari solusinya. Yang ternyata, cukup menyita waktu, energi, dan kesabaran. Setelah bertahun-tahun gonta-ganti terapi dengan 2 psikolog dan 3 psikiater, akhirnya saya ketemu psikiater yang memberikan diagnosis paling pas dengan segala gejala yang saya rasakan: ADHD alias Attention Deficit Hyperactivity Disorder.

Diagnosis ini muncul sejak November 2017, dan hingga hari ini, belum berubah. Teman-teman terdekat tentu saja kaget. Lha, saya saja kaget. Tulisan tangan rapi, meja kerja rapi (kecuali saat saya bekerja), dan saya tampak atentif mendengarkan saat orang lain berbicara. Saya juga nggak berlarian atau muter-muter di kursi saat meeting. “Masa sih lu ADHD, Yan?”

Saya beruntung, that’s all. Akhirnya, ada psikiater yang sanggup “menerawang” gejala yang sebenarnya di balik kamuflase yang saya tampilkan. Ternyata, berkat didikan masa kecil, saya telah mengembangkan kemampuan untuk duduk diam dan tampak atentif saat orang lain berbicara, nggak berlarian di kelas/meeting, dan seakan bisa jaga barang. Kenyataannya, di dalam kepala saya:

  • Atensi loncat-loncat dari satu topik ke topik lain dalam hitungan detik.
  • Daya ingat jangka pendek kelewat payah.
  • Impulsivitas meledak-ledak, terutama pas saya stres.
  • Sulit konsen kalau ketemu topik/proyek/tugas nggak menarik.
  • Tapi, susah mengalihkan atensi ke hal lain saat ketemu sesuatu yang sangat menarik.

Pas kecil, yang saya ingat:

  • Ada saja TIAP HARI barang hilang–apusan kek, buku catatan kek, uang jajan kek–yang saya sadari baru pas saya tiba di rumah.
  • Kalau ada sesuatu yang menarik, misal ikan mungil di selokan, saya langsung jongkok di samping selokan. Ketika ikan itu berenang ke celah di bawah tepian selokan, saya memajukan kaki agar bisa melihatnya lebih jelas. Lupa nyisa tumit doang yang nempel tanah. Gimana nggak nyemplung?!
  • Sering teralihkan atensinya saat guru/tante bicara kelamaan.
  • Jalan dari kamar ke dapur untuk ambil susu. Tiba di dapur, yang saya ambil adalah tempe goreng. Jalan balik ke kamar sambil menggigit tempe goreng. Baru nyadar saya mestinya ambil susu alih-alih tempe goreng saat tiba di kamar. Balik lagi ke dapur. Tempenya di mana? Saya geletakkan di meja dekat pintu kamar. Begitulah.

Kenapa ADHD Susah Terdeteksi

Mengingat waktu itu nggak ada Ayahbunda dan internet, padahal tante sayang banget dan mengharapkan masa depan cerah bagi saya, beliau melatih saya dengan satu-satunya cara yang beliau tahu: Pukulan. Apusan ilang, sebilah rotan menyapa betis saya. Lari-larian di restoran, tangan saya dicubit/diceples. Bahkan, tulisan tangan saya yang–menurut banyak teman–sangat rapi itu? Hasil dipukul/diceples hampir tiap hari. Tahu kenapa saya sering masuk sepuluh besar di kelas semasa SD-SMA? Karena, kalau nilai ulangan 9,9 sekalipun, rotan langsung menyambar. Satu fakta yang nggak pernah saya ceritakan ke siapa pun: Kecuali matematika, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan sejarah–yang memang menarik bagi saya–materi saya hafalkan pagi hari sebelum ulangan. Kalau ulangan rada siang, saya gunakan jam pelajaran sebelumnya untuk belajar. Sesimpel itu kok triknya. Bukan berarti saya jenius. Tenang saja.

Sekali lagi, tante sayang saya. Tolong jangan dihina-dina ya, Pak-Bapak dan Bu-Ibu Netijen yang terhormat. Beliau hanya nggak ngerti bahwa otak ADHD saya butuh penanganan berbeda.

Setelah Terapi ADHD 9 Bulan

Hasil didikan semasa kecil yang cukup violent itulah yang bikin psikiater saya ketawa. “Perfeksionis dan ADHD adalah kombinasi sangat unik.” Berkat obat yang dikonsumsi tiap hari, terapi rutin 2 minggu sekali, dan berbagai alat bantu, hari ini saya sanggup:

  • Lumayan baik menjaga barang walau tiap hari panik menemukan lokasinya.
  • Meredakan impulsivitas yang berpotensi menimbulkan problem/kecelakaan. Bukan berarti 100% reda ya. Saya pernah memesan hotel yang jauh dari berbagai lokasi meeting saat ke Jakarta hanya karena hotel itu menyediakan teko air panas, dan di peta terlihat seakan dekat. Saya pernah jajan skin care senilai 1 bulan gaji dalam 2 jam saja, tepatnya setelah saya baca berita Bom Gereja Surabaya. Baru kemarin saya mengabarkan ke Om Bos bahwa saya pengen resign karena pengen beli apartemen mewah… 2 jam setelah ide brilian ini muncul. MANTAP SEKALI BUKAN?!
  • Mengingat hal-hal sangat penting, tapi melupakan hal-hal yang nggak mengancam nyawa. Misalnya, you know, nama ponakan, codename proyek baru kantor, tanggal pernikahan, nomor HP suami, rute angkot di Bandung…
  • Terlihat sangat atentif saat orang lain berbicara, padahal enggak. Ini tentu saja hasil latihan akting sejak kecil; siapa juga yang mau diceples 10x sehari, ya kan?

Satu-satunya yang nggak teratasi sama sekali hingga hari ini adalah hyperfocus. Ini salah satu gejala khas ADHD. Begitu ketemu sesuatu yang sangat menarik, saya mengerjakannya sampai lamaaaaa… sampai lupa makan, mandi, tidur, pipis… sampai nggak nyadar ada gempa sekalipun. Tadinya, saya kira ini passion. Ternyata bukan, hahahaha…

Sekarang saya terhitung beruntung. Banget. Saya punya akses ke psikiater yang baik, obat yang cocok, serta life coach (salah satu bos saya yang ndilalah memiliki background psikologi klinis) yang membantu saya dengan terapi CBT (cognitive behavior therapy) dan NLP (neuro-linguistic programming). Saya juga punya alat bantu, mulai dari HP, Amazfit Bip, bullet journal (BuJo), hingga suami, yang memungkinkan saya menjalani hidup sehari-hari dengan baik di dunia yang memang tidak pernah dirancang untuk otak ADHD. Bahkan, jenis kerjaan hari ini pun makin beragam, tidak konvensional seperti 10 tahun silam. Kalau mau, bisa banget saya memilih jadi entrepreneur, online freelancer, atau content creator, yang memberikan fleksibilitas yang mendukung kondisi saya.

Sudah pakai bullet journal pun, bagian dalamnya masih penuh informasi berceceran di Post-It.

Cara Membantu ADHD

Kalau Anda sayang saya dan ingin makin supportive, pertama-tama, MAKASIH BANGET!! Lalu, persisnya, bagaimana cara Anda membantu saya?

  • Saat menyampaikan sesuatu secara lisan, usahakan selama 10 menit saja. Lebih dari itu, percayalah, otak saya sudah loncat ke mana-mana.
  • Kalau lebih dari 10 menit, apalagi selewat jam 4 sore saat efek obat mulai luntur, pastikan saya mencatatnya di buku BuJo. Di akhir briefing, mintalah saya mengulang ringkasannya. Hanya untuk memastikan tidak ada poin yang terlewat.
  • Berarti, pastikan saya ingat membuka buku BuJo, dengan pulpen di tangan, SEBELUM Anda berbicara.
  • Kalau saya tetiba memotong Anda, “Maaf, gimana poin yang barusan? Ulangi plis,” berarti atensi saya teralihkan. Maaf ya.
  • Nggak usah tersinggung kalau saya nggak merespon sapaan Anda pas asyik ngerjain sesuatu, biasanya saat saya menulis atau mendesain. Tapi, tolong seret saya ke luar gedung/rumah/kantor ya kalau ada gempa. Jangan ditinggal plis.
  • Nggak usah tersinggung kalau saya lupa nama/janji/utang/whatevs. Cukup ingatkan. Pastikan saya mencatatnya di Slack atau buku BuJo; ini 2 alat yang paling nyaman saya gunakan. Asalkan tercatat di salah satu alat itu, saya pasti ingat dan usahakan banget untuk selesaikan kok. Kalau saya masih saja lupa? Tagih lewat suami saya. Saya berjanji–demi langit dan bumi–tidak akan kabur dari janji/utang. Percayalah, kalaupun saya lupa, dan Anda mengingatkan, kekesalan saya ke diri sendiri biasanya lebih besar daripada kekesalan Anda ke saya.
  • Please stop saying, “Masa sih lu ADHD?” Sudah paling pas diagnosisnya. Saya yang tahu gimana kelakuan dan perasaan saya semasa kecil, remaja, pra-dewasa, dan hari ini. Obatnya pun cocok walau saya dan psikiater tidak merencanakan untuk konsumsi obat seumur hidup.
  • Jadi, sampai saya melewati masa denial dan masuk masa acceptance, ketawa bareng-bareng saja yuk saat saya menceritakan kelakukan “konyol”, yang aslinya adalah gejala ADHD, tapi sekarang saya menganggapnya, “Bodo amat, mungkin emang otak gue ‘ludruk’ banget.”
  • Kecuali, kalau saya terlihat bakal mengalami kecelakaan, misalnya nyeberang tanpa noleh kanan-kiri di jalan yang ramai gegara nggak sabar membelikan suami Nintendo 3DS, atau malem-malem pengen sendirian nyari kabel charger HP di kawasan kota yang angker/rawan, saat itulah saatnya Anda memegang tangan saya. Iya, kaya anak kecil. Hapiye
Daftar rutinitas ada di kantor maupun kamar kosan. Tanpa daftar ini, saya menjalani hari-hari dengan berantakan, lalu frustrasi pada malam hari saat akhirnya nyadar, nggak ada satu pun tugas yang kelar.

Pandangan Saya tentang Obat ADHD

ADHD tergolong kondisi kontroversial. Ada yang bilang, “ADHD itu nyata,” ada juga yang keukeuh, “ADHD nggak eksis.”

Saya nggak peduli dengan pandangan mana pun. Mau ADHD eksis atau nggak, yang nyata hanyalah gejala yang saya rasakan telah sekian lama mengganggu kehidupan saya. Saat ini tujuan terapi terfokus ke gimana caranya saya bisa hidup lebih nyaman.

Kalau Anda curiga Anda ADHD, tapi nggak mau minum obat, terserah Anda lho. Saya malah percaya semua obat nggak sepenuhnya baik, termasuk obat flu. Pasti ada efek buruknya ke badan/otak. (“Kalau mau aman ya jangan ke dokter, tapi ke shinshe! Yang diresepkan cuma akar-akaran, mentok-mentok mencret. Hih!” kata hati kecil saya.) Saat ini, mengingat life skills saya belum oke, efek buruk nggak minum obat justru lebih besar daripada efek buruk minum obat. Saya sih mikirnya simpel saja. Kalau memilih di antara dua pilihan yang sama-sama riskan, ya saya pilih yang risikonya paling kecil.

Tanpa wadah obat dengan kompartemen dibagi per hari, saya nggak bakal ingat hari ini sudah minum obat atau belum.

(Btw, artikel ini saya tulis selama 3 jam nonstop. Yang bergerak hanya jari-jari saya di atas keyboard. Alhasil, begitu saya klik publish, kaki kesemutan, punggung pegal, mata perih, kebelet pipis, dan tenggorokan gatal karena nggak minum air. Welcome to my brain!)

Disclaimer

  • Semua gejala yang saya sebutkan di sini, jika Anda juga memilikinya, bukan berarti Anda juga ADHD. Mendingan segera temui psikolog/psikiater untuk mendapatkan diagnosis yang tepat. Atau shinshe. Siapa tau ada akar pohon apaaa gitu yang bisa bikin nggak lupa-lupa muluk.
  • Menurut pandangan kalangan yang percaya ADHD eksis, ADHD bukan penyakit, melainkan struktur otak dan level hormon yang berbeda dari manusia neurotypical. Bahkan kondisi ini bersifat spektrum. Karena saya nggak terlalu bisa menjelaskannya, silakan cek video ini.
  • Artikel ini bukan alasan, melainkan penjelasan. Saya tetap bertanggung jawab atas hal-hal yang memang jadi tanggung jawab saya. Yang bisa saya lakukan hanyalah mengakali gejala agar saya bisa menjalankan tanggung jawab dengan baik. Kalau Anda bersedia membantu, makasih banget.
  • Psikiater saya adalah Dr. Shelly Iskandar, SpKJ, praktik di RS Melinda 2 Bandung. Saya nggak tahu info psikiater lainnya.

Foto kover oleh Daniele Levis Pelusi (Unsplash), free license.

71 pemikiran pada “Saya Dian Ara, ADHD, dan Butuh Bantuan

  1. Terima kasih sharingnya Dian, iya ini worth sharing lho buatku juga!! Seseorang, entah di mana dan kapan, mungkin akan terbantu setelah membaca tulisan ini.
    Semoga semua dilancarkan dan kamu dijauhkan dari problem ya 🙂 Dan jangan lupa bahagia 😀

    Suka

  2. hi kk, aku juga merasa seperti kk. terkadang waktu kecil aku sering banget hilang alat-alat pensil aku. kk noleh tw alamat dokternya, buat kontrol?

    kk tolong buatka tutorial bullet journal kk 😀

    Suka

  3. Hello. Saya pun ADHD. Dan, menemukan psikiater yg tepat atau psikolog yg menguasai ADHD tanpa terjebak definisi ADHD yang kerap digeneralisasi ga mudah ya d Jakarta. I still haven’t find one. Bisa obrolan? Please kindly contact me through e-mail. I need Help 😁

    Suka

  4. Dear Dian,
    Anak saya usia 19 tahun, menurut dia menderita ADHD juga….tp saya baru tau juga nama nya dari anak saya itu.
    Boleh di share nama psikolog and psikiater yg dipakai? Soalnya saya takut, anak saya bilang klw Tdk segera dibawa ke dokter, dia bisa melukai org alias nusuk org tanpa alasan yg jelas.
    Terima kasih atas saran dan sharing ya.

    Suka

  5. Selamat malam… Saya membutuhkan nomer psikiater/ dokter yg mendiagnosa anda. Bolehkah berbagi info? Terima kasih

    Suka

  6. Halo Mbak Dian,
    Terima kasih atas sharing-nya perihal ADHD.
    Sebagai orang yang sangat perfeksionis, tapi sulit menyelesaikan tugas (dan mudah terdistraksi), kadang saya sampai merasa kalau saya ini ngga melakukan hal secara benar. Dengan kata lain, gagal. Padahal kata teman-teman yang lain tidak demikian, hasilnya pun masih baik. Tapi hal ini berkali-kali cukup bikin saya frustasi karena saya cenderung menelantarkan banyak proyek yang pada awalnya semangat sekali saya mulai. Beberapa kali ke psikolog pun, saya belum mendapat jawaban atas apa yang terjadi pada diri saya.
    Boleh tahu apakah kegelisahan awal yang membuat Mbak akhirnya memutuskan untuk pergi ke psikolog/psikiater? Apakah dari awal Mbak Dian sudah memikirkan kemungkinan ADHD sebelum didiagnosa demikian?
    Saya takut kalau melakukan self-diagnosed, bolehkah saya juga minta share kontak psikolog/psikiater Mbak Dian? Terima kasih sebelumnya.

    Suka

  7. Hi Dian.. Anak saya di diagnosa ADHD yang dimana kesulitan dalam mengikuti pelajaran sekolah.. boleh dishare nama psikiater atau psikolog nya.. terima kasih

    Suka

  8. Halo Kak Dian, saya curiga saya punya ADHD juga ini karena banyak gejala Kakak yang mirip dengan yang saya alami. Bisa minta kontak dokternya Kak Dian? trims banyak sebelumnya

    Suka

  9. Halo Kak Dian, saya curiga saya punya ADHD juga ini karena banyak gejala Kakak yang mirip dengan yang saya alami. Bisa minta kontak dokternya Kak Dian? trims banyak sebelumnya

    Suka

  10. Hai Kak Dian,

    saya senang sekali menemukan artikel ini, saya sangat relate dengan kalimat kak Dian ‘Saya tahu saya beda dari kebanyakan orang. Dan, perbedaan itu bikin saya menderita tiap hari’.

    so far saya sudah ke 2 psikolog dan 1 psikiater belum pernah ada diagnosa jelas, atau mungkin karena saya masih di tahap denial jadi ga ada yg masuk ya ke saya hehe.
    bahkan 1 psikiater itu buat saya trauma sampai hari ini….

    tp membaca post ini buat saya berani membuka diri lagi, bahkan termotivasi untuk tuntasin masalahnya, boleh tolong bantu share nama psikiaternya dan how to reach them ya, karena saya tidak di Bandung .

    terima kasih banyak

    Suka

  11. halo kak dian, makasih sharingnya, saya juga mengalami hal yg sama seperti kaka, dan sedang dlm usaha mencari psikiater..
    boleh diinfokan kak kontak psikiater yg mendiagnosa kaka?

    dan juga apa kaka ada rekomendasi psikiater yg fokus pada adhd d jakarta y kak?

    trimakasih, sehat selalu kak 🙂

    Suka

  12. Hallo, mba Dian..
    Saya ingin berkonsultasi juga dengan dokter psikiater yang membantu mba Dian. Boleh saya minta info kontaknya? 🙂

    Suka

  13. hi Mbak Dian…

    thanks sdh sharing.
    saya merasa beda.. udh coba ketemu psikiater ga ada yg “click” malah jadi beban baru.
    saya merasa banyak yg mengertiin saya, banyak hal kecil malah merusak diri saya dari dalam.

    self talk kaya “knp sih gini aja saya gak bisa beresin”, koq orang lain begitu.. koq saya mikir kejauhan. keluarga saya pun menilai saya itu terlalu banyak berpikir..tapi di cap jadi orang yg tidak competent..dan sungguh bener2 saya jadi percaya omongan mereka. mulai banyak sugesti diri yg gak membangun..

    boleh sharing mbak, nama psikiater dan kontaknya jga. thank you

    Suka

  14. hallo Mbak Dian, thanks for sharing.

    apa boleh share contact psikiater nya?
    saya struggle dlm kehidupan pekerjaan dan rumah tangga. dan benar2 rasanya ingin menyerah. ga punya “orang” yang mengerti rasanya.

    Suka

  15. Halo kak, artikelnya sangat membantu 🙂 Apakah saya boleh meminta nama dan detail kontak untuk Psikiater yang bersangkutan? Terima kasih sebelumnya 🙂

    Suka

  16. Halo Dian,

    Makasih banyak ya atas postingan ini. Saya baru aja selesai berbincang dengan psikolog yang sesinya, jujur saja, kurang memuaskan. Saya dari kecil merasakan hal-hal yang sama seperti yang ditulis di blog ini, sehingga saya sering merasa sangat frustrasi ke diri sendiri karena rasanya setengah mati untuk konsentrasi dan “organized”. Membaca tulisan-tulisan seputar ADHD membuat saya berpikir mungkin saya masih ada harapan, mungkin hal-hal yang saya frustrasikan ada penjelasannya. Saya merasa masih sangat sulit menemukan psikolog/psikiater di sekitar saya yang spesialisasi di ADHD/ADD tanpa menutup mata pada wanita dewasa. Nyatanya, masih banyak orang (bahkan ahli) yang percaya bahwa ADHD hanya dapat ditemukan pada anak kecil, atau hanya pada lelaki. Untuk itu, bolehkah saya minta kontak psikolog/psikiater nya? Saya berharap itu dapat membantu saya. Thank you!

    Suka

  17. Halo mbak Dian, terimakasih untuk ceritanya ya. Saya baru-baru ini didiagnosa punya bipolar, namun saya juga curiga punya ADHD karena gejala-gejalanya juga saya alami sejak kecil. Sama seperti mbak, orang banyak tidak percaya dan psikiater saya juga tidak merasa perlu untuk menguji kemungkinan saya punya ADHD, karena secara akademik saya tidak pernah punya masalah, nilai saya selalu bagus. Namun ya, untuk memperoleh nilai-nilai yang bagus tersebut, perlu usaha lebih bagi saya. Untung beliau bisa menyadari bahwa sebagian gejala-gejala yang saya rasakan itu bipolar, tapi ya memang susah untuk diagnosa ADHD bagi orang dewasa di Indonesia karena stigmanya besar. Padahal, jurnal-jurnal dan artikel luar negeri juga sering membahas bahwa ADHD kerap jadi komorbid bipolar, demikian juga sebaliknya.

    Semoga kedepannya pengertian para ahli psikiatri di Indonesia seputar ADHD bisa lebih progresif ya, seperti psikiaternya mbak, supaya lebih banyak masyarakat Indonesia yang punya ADHD hingga dewasa bisa mendapat pertolongan.

    Suka

  18. Halo kak! Terima kasih sudah sharing tentang ADHD-nya. Aku lagi nyari dokter yg paham betul tentang ADHD untuk bantu keadaan aku. Boleh aku tau siapa dokter kk dan kontaknya?

    Suka

  19. halo kak, aku boleh tau nama psikiaternya? aku mau coba konsultasi mumpung aku masih di bandung dan bpjsku ada di bandung semua. terima kasih banyak!

    Suka

Komentar ditutup.