Merindukan Kemampuan yang Mulai Hilang

Sejak tiga hari lalu, sekujur tangan kanan saya sakit. Mulai dari pergelangan sampai ke buku-buku jari. Menurut seorang dokter umum di Halodoc, kemungkinan diagnosis adalah arthralgia.

Gara-gara kondisi tersebut, saya kesulitan melakukan hal-hal yang selama ini terkesan remeh. Mencabut kabel rice cooker. Memencet dispenser sabun. Membuka pintu kulkas. Semua terpaksa saya lakukan dengan tangan kiri. Atau minta bantuan suami.

Arthralgia menyerang karena saya kurang menjaga kondisi sendi. Jarang olahraga. Postur duduk di meja kerja nggak ergonomis. Alhasil, tekanan pada otot-otot tangan terlampau besar. Tiap hari pula. Jadilah tangan saya tersiksa, lalu menyerah.

Pada saat inilah saya tersadar, kemampuan bisa hilang. Makanya, harus dijaga.

Saya nggak pernah menjaga kemampuan menulis. Hampir dua tahun sejak saya terakhir kali menulis artikel untuk blog ini. Barusan, saya mencoba menulis pengalaman migrasi blog dari self-hosted WordPress.org ke WordPress.com. (Ya, blog ini baru pindah rumah.) Prosesnya, setidaknya bagi saya, ternyata sangat menarik dan mudah. Tapi, setelah riset sedikit, tiba-tiba saya nggak pede. Ide itu terasa murahan dan nggak penting banget.

Untungnya, saya berpengalaman bertahun-tahun menyunting artikel untuk sebuah koran nasional. Saya tahu, nggak ada ide murahan selama eksekusinya oke. Dalam penulisan artikel, eksekusi oke mencakup:

  • Angle, yaitu sisi apa yang mau diangkat dari sebuah fenomena atau peristiwa
  • Diksi alias pilihan kata
  • Lead, yaitu 1 paragraf pembuka, paragraf terpenting dari semuanya, yang juga berlaku untuk tulisan apa pun, termasuk novel fiksi
  • Kerunutan dan kejelasan tiap paragraf

Kepiawaian Anda meramu semua aspek teknis di atas dan menjadikannya artikel memikat sejak kata pertama hingga kata terakhir, itulah seni menulis. Contoh paling simpel adalah soal diksi. Misalnya, kalau bosan dengan frase, “Pucuk dicinta ulam tiba,” Anda bisa menggunakan, “Bagai k-poper yang disenggol bias-nya di Starbucks, lalu sang bias minta maaf sekaligus nomor ponsel.”

Sebetulnya, tiap orang bisa menulis dengan baik. Karena, yang bisa menulis dengan baik adalah yang bisa bercerita lisan dengan baik. Tiap orang bisa melakukannya selama topiknya menarik bagi pencerita. Coba saja. Kalau Anda hobi mengoleksi sepeda, misalnya, bisa kok Anda ngoceh soal itu 2 jam penuh. Coba tuangkan ocehan Anda ke dalam tulisan, lalu sunting, maka tulisan Anda bisa jadi sangat menarik.

Itu sebabnya, satu trik penulisan yang selalu saya ajarkan pada penulis artikel pemula: “Menulislah seakan kamu sedang ngobrol dengan temanmu. Jangan disunting. Ketik secepat mungkin. Nanti, setelah kamu tumpahkan semuanya, barulah tulisanmu disunting. Itulah saatnya kamu berpikir logis.”

Artikel ini pun saya tulis tanpa henti. Nonstop. Terus saja saya ketik apa pun yang terpikirkan. Walau kepala bolak-balik membisikkan, “Idemu jelek, nggak usah ditulis,” tetap harus saya tulis. Harus saya lawan. Itu hanya ketakutan, bukan fakta valid. Kalau saya mau kemampuan menulis kembali seperti dulu, nggak ada jalan lain, saya harus menulis tanpa jeda. Sama seperti kesehatan tangan saya. Harus dijaga, atau saya merana.

Artikel ini telah melewati penulisan ulang dan penyuntingan. Kalau Anda mau baca versi pertama tanpa suntingan, silakan klik tautan ini.

Photo by Buck from StockSnap

2 pemikiran pada “Merindukan Kemampuan yang Mulai Hilang

Tinggalkan komentar