
Jajan Duluan, Belanja Belakangan
Saat merancang anggaran keuangan, saya mematok satu prinsip sederhana: “Jajan duluan, belanja belakangan.” Lanjutkan membaca Jajan Duluan, Belanja Belakangan
Saat merancang anggaran keuangan, saya mematok satu prinsip sederhana: “Jajan duluan, belanja belakangan.” Lanjutkan membaca Jajan Duluan, Belanja Belakangan
Dulu, saya belajar satu ilmu penting dari Safir Senduk soal tujuan keuangan: “Menabunglah sebelum belanja.” Kebiasaan ini mengatasi impulsivitas saya. Asalkan sudah menabung, sisanya boleh saya pakai untuk foya-foya. Tanpa rasa bersalah.
Masalahnya, menabung tanpa tujuan itu kurang efektif. Saya cuma memasukkan uang ke tabungan biasa, yang lama-lama pasti tergerus inflasi. Bok, biaya admin saja lebih besar dari bunganya!
Saya punya 2 buah kartu kredit. Keduanya pernah menjerat saya dengan utang belasan juta rupiah. Bulan kemarin, akhirnya, semua utang kartu kredit itu lunas!
Untuk pengelolaan keuangan rumah tangga, saya suka sekali menggunakan sistem amplop. Cuma, ribetnya itu lho…
Jumat kemaren di Twitter rame tagar #SejakMenikah. Salah satu pekicau, kayanya seorang suami, ngaku merasa bagai berada dalam penjara gegara tiap hari dijatah duit jajan oleh istrinya. Kakanda pernah juga diketawain temennya, yang lajang, begitu si temen tau dia dapet jatah jajan harian. Lah? Kakanda tampaknya bahagia dengan sistem pengelolaan keuangan yang saya terapkan. Tapi, kenapa jatah jajan itu terkesan seakan menyiksa suami?
Sejak lulus SMA dan bisa cari uang sendiri, terutama sepanjang masa freelancing, pengelolaan uang saya sederhana. Sesederhana hari ini invoice cair, besoknya nawar MacBook. Sesederhana siang dapet bonus, sorenya berangkat ke BEC untuk beli Nintendo 3DS. Nyatet arus kas tiap hari? Yaelah, gimana bayar kosan tiap bulan aja wallahualam.