Game Prototype Kit

Pertanyaan Terbaik saat Belajar Game Design (atau Apa Pun)

Pertanyaan yang diajukan kebanyakan pemula di komunitas Game Developer Indonesia (GDI) bisa dikelompokkan menjadi 2 macam. Yang paling cerdas, “Pengen bikin game, kemampuan apa yang saya perlu miliki?” Sementara yang paling oneng, “Gimana caranya bikin game?” bisa bikin para senior di GDI mendadak migren.

Perlu saya terangkan terlebih dulu: Saya belum bisa coding. Masih pontang-panting meluruskan kemampuan berpikir kritis dan logis. Masih juga melongo kalau ada yang menceploskan istilah-istilah teknis programming seperti algoritma, refaktor, variabel, dan konstanta. Dari sisi desain pun, boro-boro bisa mengoperasikan Photoshop, baruuu saja–sebelum menulis artikel ini–saya paham apa bedanya wireframe dan mockup. Padahal, di kartu nama saya tertera jelas profesi game designer, dan game designers biasanya paham begituan.

Tapi, saya bisa nggambar. Pakai pensil di atas kertas. Dengan garis masih petat-petot. Kalau nggambar cowok, badannya stik esgrim, kepalanya lingkaran yang lebih mirip amoeba. Kalau nggambar cewek, saya tambahkan segitiga di sekitar stik esgrim. Kalau nggambar gunting, susah dibedakan dengan gambar penis. Pernah, pas frustrasi banget nggak bisa nggambar motor, saya gambar saja dua amoeba berjejer, dihubungkan dengan segaris horizontal yang bisa juga disebut cacing kesetrum, lalu di bawahnya saya tuliskan pesan untuk rekan kerja (desainer grafis dan ilustrator), “Ini motor.”

Paper Golf Game Rules
Nggambar tangan saja mirip sosis goreng.

Saya juga bisa dan suka membaca, termasuk materi tertulis dalam bahasa Inggris. Jadilah tiap hari saya sempatkan baca blog Gamasutra di samping nyicil baca buku-buku terkait game design.

Saya juga, untungnya, punya teman-teman yang baik banget. Ada yang suka menyemangati agar saya terus berlatih nggambar. Ada juga yang rela diajak diskusi soal desain, logika, dan workflow. Om Bos, seorang CTO andal yang kini merangkap CEO, malah luar biasa sabarnya. Secapek gimana pun beliau, kalau saya nanya-nanya soal design thinking, konsep game, atau apa pun, beliau siap ngasih masukan berharga. Teman-teman yang nggak paham dunia game development pun menunjukkan dukungan walau sebatas lope-lope di Path, terutama pas saya frustrasi banget sepanjang proses belajar otodidak ini.

Art of Game Design by Jesse Schell
Buku pun masih fotokopian, minjam punya teman. SEMUA INI SALAH STEAM SALE!

Jujur saja, kepercayaan diri saya rendah sejak saya memulai petualangan ini 3 tahun silam. Sering mikir, “Kenapa gue bego banget sih? Gegara gue lulusan SMA? Kudu kuliah dulu di ITB atau gimanaaaaa?” Kalau sudah begitu, saya berusaha mengingat-ingat bahwa suami, yang juga lulusan SMA, bisa bikin robot laba-laba berbekal kawat, penjepit kertas, baterai biasa, dan servo 30 ribuan. Tapi, trik ini biasanya kurang awet. Nggak lama, minder lagi. Lihat suami, semangat lagi. Lalu, minder lagi. Terus saja seperti itu. Sampai di satu titik, ketika game yang saya gadang-gadang untuk menjadi karya besar pertama terbukti gagal total karena nggak menarik, bahkan untuk timnya sendiri, saya tenggelam dalam depresi. Saya resign dari kantor, dan sepanjang tahun 2016, saya jadi hikikomori. Nggak mau ketemu orang lain. Nggak mau memikirkan sekelumit pun soal game design. Saya bahkan sempat bertanya-tanya, apa iya saya betulan berminat di bidang ini?

Saya berusaha mengingat-ingat, ada nggak sih momen-momen ketika saya merasa bahagia sekali mendesain game?

Ternyata ada! Persisnya 3, yaitu:

Saya tarik benang merah ketiga pengalaman itu.

  • Ada koridor yang membatasi, tapi alih-alih membunuh kreativitas, malah membebaskannya. Di GGJ, ada tema dan batasan waktu 48 jam. Di BGC, ada tema dan batasan waktu 1 bulan. Di kuliah CalArts, ada tema, batasan waktu 1 bulan, dan–yang paling seru–keharusan untuk bikin game yang bisa dimainkan oleh siapa pun di seluruh dunia hanya dengan kertas, pensil, dan dadu.
  • Ketiganya menerapkan rapid prototyping dalam iterasi pendek-pendek (24 jam untuk GGJ, dan 1 minggu untuk BGC maupun kuliah CalArts).
  • Ketiganya mengharuskan saya menggunakan alat yang saya paling kenali: kertas dan pensil.
  • Ketiganya melewati workflow dan teamwork yang efektif untuk proses produksi kreatif, bukan seperti pabrik yang memproduksi barang yang sama berulang-ulang sampai mampus.

Setelah rutin bertemu psikiater dan minum obat untuk meredakan gejala bipolar disorder, 4 hari lalu saya putuskan untuk kembali bergabung dengan sebuah studio game di Bandung. Hari pertama, Om Bos minta saya menyiapkan ide core mechanics (=aktivitas utama pemain dalam sebuah game). Hari kedua, saya ketemu klien untuk presentasi. Pakai selembar kertas HVS yang saya potong-potong dan spidol. Dalam beberapa menit, Om Bos maupun klien paham kenapa saya memilih core mechanics itu. Langsung juga terlihat flaws-nya di sebelah mana, lalu bersama-sama kami menyempurnakannya.

Game Prototype Kit
Toolbox berisi game prototype kit.

Pulang dari lokasi pertemuan, saya katakan pada suami, “Ya ampun, aku beneran bisa ngedesain game, Mas!”

Ternyata, saya keliru menyikapi proses belajar. Alih-alih menyesali keterbatasan, sudah saatnya saya memanfaatkan kekuatan yang ada saat ini. Alih-alih bertanya layaknya pemula di GDI, mungkin saya (dan Anda, kalau memang mau belajar sesuatu yang baru dan asing) perlu bertanya,

Dengan kemampuan (apa pun) yang saat ini saya miliki, apa yang saya bisa bikin?

Foto-foto oleh Dian Ara (Cangkir Kosong), all rights reserved.

Tinggalkan komentar