Ada PR dari psikiater. Semacam journaling bernama CBT (cognitive behavioral therapy). Di selembar kertas berderet sejumlah kolom, di mana saya tuliskan emosi intens yang saya rasakan, pikiran pemicunya, fakta penyanggah, lalu pikiran alternatif dan emosi yang menyertainya. Biasanya saya kerjakan malam-malam. Saat bayi sudah tidur dan rumah sudah hening. Masalahnya, lampu meja yang ada bikin mata saya cepat capek. Maklum, cuma 200 ribuan, saya beli di Miniso.
Saya coba cari lampu meja Philips di Tokopedia. Ada banyak. Tapi, nggak ketemu yang rechargeable. Yang harus selalu nyolok ke sumber listrik nggak berjodoh dengan bentuk dan ukuran meja kerja.
Beberapa teman Facebook menyarankan Yeelight dari Xiaomi. Tergoda LED dan harga yang lebih murah dari kebanyakan Philips, yowes, saya coba saja Yeelight Portable LED Lamp.
Ternyata, mantap josss!
Dengan penampang besi dan leher berlapis plastik lentur, build quality Yeelight terasa oke banget. Lehernya nggak seluwes lampu Miniso, tapi juga nggak kaku-kaku amat. Bisa lurus vertikal. Bisa pula melengkung ke depan hingga 180 derajat. Atau, melengkung ke samping kanan-kiri hingga 90 derajat. Sementara kepala (=lempengan berisi) lampu hanya bisa diputar sedikit.

Lampunya berkekuatan 0,05 watt sebanyak 60 modul. Total konsumsi listrik hanya 5 watt, tapi untuk LED, ini cukup terang.
Mode Yeelight lebih banyak dari lampu Miniso. Ada 5 level brightness dan 5 suhu warna. Anehnya, tombol brightness nggak berotasi seperti tombol suhu warna. Kalau saat ini ada di brightness level 1, mau ke brightness level 5, tombolnya dipencet 4 kali. Kalau dipencet sekali lagi, alih-alih balik ke level 1, malah ke level 4. Lalu 3, 2, barulah 1. Saya nggak mempermasalahkannya. Kepo saja sih dengan keputusan desain seperti itu.

Untuk suhu warna, kita bisa pilih dari putih hangat (2.700 Kelvin, setara lampu pijar) ke putih kebiruan (6.500 Kelvin). Yang ini nggak masalah dan nggak terlalu berguna buat saya. Saya nggak pakai lampu ini sebagai lampu tidur. Kebutuhan saya adalah lampu paling terang dengan suhu minimal 4.000 Kelvin. Yang lebih hangat dari itu mungkin nanti kepakai pas saya butuh menciduk upil bayi malam-malam.

Selain brightness dan suhu warna, ada 2 tombol on/off. Yang satu ada di balik penampang lampu, satu lagi di touchpad. Yang di touchpad berfungsi juga sebagai indikator baterai. Kalau sudah saatnya diisi ulang, tombol itu berkedip kuning. Saat diisi ulang, warnanya merah sampai baterai terisi penuh.

Yeelight menggunakan baterai internal li-ion polymer berkapasitas 2.000 mAh. Pada brightness paling tinggi, lampu ini bertahan 2 jam 50 menit. Lebih dari itu, perlu diisi ulang, atau minimal dipakai sambil nyolok ke powerbank. Baterai Yeelight nggak bisa dicopot, tapi bisa diisi ulang dengan kabel microUSB standar. Artinya, saya bisa memakai kabel microUSB apa pun yang bertebaran di rumah. Pun, nggak riskan membuang seluruh lampu akibat kabel hilang atau rusak.

Terangnya Yeelight juga memuaskan. Dengan lampu Miniso, antara dipakai sambil nyolok ke sumber listrik atau menggunakan baterai internal, bedanya sangat nyata. Dengan Yeelight, nggak terlalu terasa. Turun hanya dari 330 lumen ke 260 lumen. Tetap terang. Dan, yang paling penting, fitur flicker-free bikin mata nggak sakit setelah pemakaian lumayan lama.


Dengan banderol harga hampir 400 ribuan, Xiaomi Yeelight Portable LED Lamp benar-benar value for money.
Spesifikasi
(Saya copas yang tercantum di boks.)
- Model: YLTD02YL
- Luminous flux: 330 lm (by charging cable, 5V); 260 lm (by built-in battery)
- Color temperature: 2,700K – 6,500K
- Operating temperature: -10°C – 40°C
- Operating humidity: 0%RH – 85%RH
- Input voltage: DC 5 V
- Rated power: 5W (60 x 0.05W/LED module)
- Battery: li-ion polymer 3.7V 2,000 mAh
- Package content: Yeelight Portable LED Lamp, charging cable, user manual
Foto kover oleh Nadine Shaabana (Unsplash), free license.
Foto-foto Yeelight oleh Dian Ara (Cangkir Kosong), all rights reserved.