Saya pernah menyesal terlahir sebagai manusia. Spesies paling arogan dan egois di muka bumi.
Sebelum Anda marah, saya jelaskan dulu ya. Ini konflik batin saya pribadi. Bukan berarti saya membenci Anda atau siapa pun. Mungkin gegara saya kebanyakan nonton National Geographic. Dan kebanyakan waktu luang. Makanya, kasih kerjaan dong. *krik krik krik
Alam semesta memiliki desain ciamik. Mulai dari gravitasi, kehampaan di ruang angkasa, sampai lahir dan matinya bintang-bintang, semuanya adalah bagian dari satu sistem mahabesar.
Di bumi pun, setiap makhluknya adalah bagian dari sistem biologi yang ciamik. Mulai dari regenerasi sel yang merupakan indikator makhluk hidup, seleksi alam (natural selection) yang menjadi pilar evolusi, hingga rantai makanan di mana setiap makhluk memiliki predator sekaligus menjadi predator bagi makhluk lain. Keren kan? Andai alam semesta adalah studio game, pasti ada miliaran game designer yang bekerja 24/7, dengan creative director galak bawa pecut berdiri di belakang mereka. *lah kok curhat…
Masalahnya justru berakar di eksistensi manusia. Dengan kemampuan kognitif jauh mengungguli semua spesies lain, kita bisa mengakali hukum-hukum alam. Gravitasi? Manusia gak punya sayap? Bodo amat. Kita bisa bikin pesawat. Buah kudu berbiji? Bikin saja semangka tanpa biji. Lah, anjing dan kucing yang lucuk-lucuk itu pun hasil dari seleksi oleh manusia (artificial selection) selama ribuan tahun. Predator, di tangan manusia, bisa berubah jadi sahabat! (Kecuali kucing. Kita mah budak mereka. Sudahlah.)
Kematian pun terus-menerus kita akali. Perkembangan teknologi medis, termasuk vaksin, penisilin, dan anestesi, apa itu namanya kalau bukan upaya kita agar bertahan hidup lebih lama dari semestinya? Saya nggak bakal kaget kalau tetiba muncul jurnal ilmiah dari dunia kedokteran yang mengumumkan kita bisa immortal. Hari ini saja cangkok organ-organ vital (kecuali otak) sudah bisa!
Lalu, peradaban. Kita merindukan kenyamanan dan keteraturan di tengah chaos. Ini wajar. Saya pun menyukainya. Masalahnya, dalam setiap proses kehidupan kita sebagai manusia beradab, ada bumi yang terluka. Varietas bibit tanaman pangan makin sedikit karena kita maunya tanaman yang tahan banting dan bisa diproduksi dalam jumlah banyak dan waktu singkat. Hutan-hutan dibabat, beralih rupa jadi rumah dan kantor kita. Ada juga yang dibakar karena itulah cara tercepat dan termurah memperoleh lahan subur untuk kelapa sawit, yang merupakan bahan (primer ataupun derivatif) sebagian besar produk yang kita pakai di rumah.
Superioritas inilah yang membuat saya merasa, saya kurang membalas segala kebaikan alam. Ibarat numpang tinggal gratis di rumah orang, eh bukannya makasih, malah ngacak-acak nggak karuan. Jadi, gimana caranya agar, selama masih bernyawa, saya bisa jadi manusia yang lebih sadar dan proaktif menyembuhkan bumi?
Setelah merenung cukup lama, saya tersadar, kebencian pada umat manusia ini kok justru kurang bijak. Marah tanpa hasil berarti. Capek sendiri, tetep wae bumi ter-suck kitty.
Nggak semua orang bisa bertindak seperti Elon Musk, yang aktif mengupayakan energi alternatif. Atau Ajeng Ika Nugraheni, teman saya yang sayang banget sama orangutan. Atau Mirza Kusrini, yang getol mempromosikan konservasi amfibi dan reptil. Mereka memiliki beberapa kesamaan: kemandirian finansial, pendidikan tinggi, dan sistem dukungan yang memungkinkan mereka bergerak menyembuhkan bumi walau belum tentu mendapatkan imbalan finansial yang besar.
Bisa bayangkan mamang becak atau ibu penjaja tempe bongkrek memikirkan Great Barrier Reef nyaris punah atau hutan Kalimantan makin tipis kaya tren pembalut? Bok, energinya habis duluan mikir gimana bisa makan besok kaleee…
Artinya, makin banyak orang yang mencapai kemandirian finansial, makin besar aksesnya ke pendidikan tinggi, makin banyak juga mestinya orang yang mau menjadikan kesembuhan bumi sebagai salah satu prioritas perjuangannya. (Logika saya cupu banget ya? Hahahahahaha…)
Selama ini, saya berusaha membantu orang-orang di sekitar saya agar lebih baik lagi menjual kemampuannya, mengelola keuangan pribadi, dan menumbuhkan semangat belajar (dengan, misalnya, kompetisi baca buku yang pesertanya hanya saya dan suami). Yaaa, saya bisanya baru segitu.
Untungnya, begitu murid siap, guru pun hadir. Saya tetiba diajak Sayangi Tunas Cilik, sebuah yayasan yang memperjuangkan perlindungan hak-hak anak sekaligus mitra Save the Children di Indonesia, untuk bertatap muka dengan anak-anak yang putus sekolah dan anak-anak dengan disabilitas, yang ada di sekitar Bandung. Setelah 2 hari bertukar pikiran dan mendengar curhat mereka, wow, eye opening banget. Otak rasanya nyaris meledak, penuh ide-ide apa yang bisa saya lakukan untuk mereka. (Cerita lengkapnya entar-entar ya. Masih pengen istirahat dulu.)

Yang penting, saya akhirnya menemukan kembali kepedulian dalam hati saya untuk manusia. Manusia, yang perlahan menghancurkan bumi demi hidup nyaman, justru satu-satunya spesies yang sanggup menyelamatkannya.
Foto oleh Dian Ara (Cangkir Kosong), all rights reserved.
Habis denger nama Save The Children, kok kedengeran familiar. Eh ternyata dulu sempet jadi calon klien Mas Iyo di inmotion buat bikin edugame tapi dengan universe cem Dumb Ways to Die log :))
SukaSuka